The Failings of Flat Design? Design for Designers.

So this is bouncing around the internet at the moment. If you can’t be bothered to click the link, the headline is: I’m not sure whether this study will pass quietly into obscurity or whether it will…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Pengkhianat Alengka itu Bernama Wibisana

Melihat salah satu tokoh kunci kemenangan Rama Wijaya dari sudut pandang lain

Kisah pewayangan selalu menyimpan pelajaran menarik untuk digali. Masing-masing tokoh mengambil peran uniknya dalam cerita. Kali ini kita akan berbicara tentang salah satu tokoh yang berperan penting terhadap kemenangan Rama Wijaya dalam perjuangannya merebut Sinta yang diculik paksa oleh Rahwana. Tidak lain dan tidak bukan adik bungsu Raja Alengka yang bernama Wibisana.

Dewasa ini kita semakin mudah menemukan cerita-cerita alternatif dari epos Ramayana dan juga Mahabharata. Cerita yang mencoba menunjukkan bagaimana hidup tidak selalu hitam putih. Yang hitam belum tentu hitam pekat. Di India sana, penulis Anand Neelakantan menerbitkan beberapa buku yang mengambil sudut pandang dari sisi Rahwana dan Kurawa.

Kalau di Indonesia, penulis Sujiwo Tejo menuangkan dengan apik cinta Rahwana yang begitu tulus dalam buku Rahvayana: Aku Lala Padamu. Berikut saya cantumkan salah satu kutipan dari beliau yang cukup populer:

Membaca salah satu dari tulisan di atas bisa menyebabkan kepala angguk-angguk sendiri sambil mikir “oh iya juga ya”, “bisa gini ya”, dan semacamnya. Masalahnya sekarang adalah ilmu saya masih belum sedalam beliau berdua, jadi dalam tulisan ini saya terpaksa mengambil pendekatan yang lebih konservatif.

Saya akan coba berbicara tentang Wibisana dari cerita-cerita yang sudah ada lalu pelan-pelan menunjukkan pelajaran apa yang diambil dari tokoh ini. Mari…

Wibisana merupakan anak bungsu dari pasangan Kaikesi dan Resi Wisrawa. Anak pertama bernama Rahwana yang berwujud raksasa dan kerap juga dipanggil Dasamuka karena memiliki 10 kepala. Putra kedua bernama Kumbakarna yang berbadan sangat besar. Sementara anak Ketiga merupakan seorang raksesi bernama Sarpakenaka. Wibisana sendiri digambarkan bertubuh manusia dengan wajah yang tampan. Mereka berempat tumbuh dan berkembang bersama.

Pada waktu mudanya Wibisana dan ketiga kakaknya pergi bertapa. dengan caranya masing-masing mereka berempat melakukan tapa selama bertahun-tahun. Hingga suatu hari khayangan gempar. Batara Brahma yang mengetahui penyebab kegemparan tersebut lalu turun untuk menemui kakak-beradik yang sedang melakukan mati raga tadi.

Berbanding terbalik dengan Rahwana yang meminta kesaktian agar selalu unggul dalam pertempuran, Wibisana hanya meminta agar selalu berada di dalam jalan kebenaran.

Di kemudian hari ketika mengetahui kakaknya telah menculik Sinta, Wibisana mencoba membujuk kakaknya agar segera mengembalikan ke Rama. Hal ini demi mencegah kehancuran di kedua belah pihak.

Keputusan Rahwana menculik Sinta tentunya bukan tanpa konsekuensi. Rama tentunya tidak mungkin membiarkan istrinya direbut paksa begitu saja. Atas petunjuk dewa ia pun pergi ke Gua Kiskenda untuk menemui Sugriwa. Singkat cerita akhirnya Rama mendapat bantuan dari pasukan wanara untuk merebut kembali Sinta.

Kabar sepenting ini tentu saja tidak lepas dari pengetahuan Alengka. Terlebih dari pihak Rama sudah lebih dulu mengirim Hanoman sebagai mata-mata yang menyebabkan kegemparan di kota. Setelah Hanoman melarikan diri, para petinggi kerajaan lalu berkumpul untuk membahas tindakan apa yang perlu dilakukan. Kumbakarna yang saat itu sedang dalam waktu tidurnya pun turut dibangunkan.

Beragam usulan dilontarkan. Kumbakarna dan Wibisana sendiri menyarankan agar Shinta dikembalikan saja kepada Rama. Akan tetapi Rahwana bukanlah orang yang mudah berubah pendiriannya. Entah demi cintanya kepada Dewi Widowati yang menitis pada Shinta atau karena sadar dengan takdirnya, Rahwana bersikukuh akan menghadapi siapapun yang datang.

Akhirnya Kumbakarna menyerah dan berjanji akan melakukan apapun demi negaranya. Bahkan nyawanya siap dia korbankan.

Di sisi lain Wibisana memilih untuk pergi dari Alengka dan bergabung dengan pasukan Rama. Hal ini dia lakukan karena merasa negerinya sudah melenceng jauh dari jalan dharma. Setelah bergabung ia lantas memberikan banyak informasi penting seputar Alengka kepada Rama.

Di sini kita bisa melihat perbedaan antara Kumbakarna dan Wibisana dalam kesetiaan mereka terhadap bangsa dan tanah air. Kumbakarna dengan gagah berani maju ke medan perang membela negaranya. Hal serupa tidak kita temukan pada Wibisana yang memilih berbelot membantu agresor.

Apakah tindakan Wibisana sudah pasti salah? Bisa jadi tidak. Yang jelas di detik dia menyatakan kesediaannya membantu Rama dalam perang, dia sudah menjadi pengkhianat bangsanya sendiri. Menyerahkan nasib bangsanya pada ketidakpastian.

Bila Rama memutuskan untuk meratakan Alengka dengan tanah maka apa yang terjadi? Hal ini bukan tidak mungkin mengingat warga Alengka juga turut serta membantu rajanya setiap melakukan penyerangan. Tentunya kita hanya bisa berandai-andai, yang jelas Wibisana sudah pasti selamat dan tentu saja mendapat imbalan besar.

Sebaliknya, bila agresi Rama gagal dan Wibisana tertangkap maka dia bisa saja menerima hukuman yang sangat berat atas kesalahannya. Pun demikian, saya percaya Wibisana sadar dengan konsekuensi dari tindakannya. Dan dia memilih jalan tersebut, percaya bahwa tindakannya bisa menyelamatkan Alengka.

Perlu dicatat bahwa diceritakan pada waktu Kumbakarna turun ke medan perang untuk menghadapi pasukan wanara, Wibisana meminta izin kepada Rama untuk menemui kakaknya tersebut. Di hadapan kakaknya ia menangis memohon maaf karena sudah membela musuh, bahkan ia rela bila harus dibunuh atas tindakannya.

Tak kuasa melihat adiknya, Kumbakarna berkata bahwa mereka berdua hanya menjalani dharma mereka masing-masing. Wibisana memilih membela pihak yang dia yakini benar, sementara Kumbakarna memilih membela negaranya apapun yang akan terjadi. Sepeninggal Rahwana, Wibisana diangkat oleh Rama menjadi Raja di Alengka.

Demikian riwayat Wibisana, adik bungsu Rahwana. Menurut penulis pribadi tindakannya tidak dapat dijadikan panutan. Akan tetapi inilah indahnya belajar dari sebuah cerita. Benar atau salah jalan yang dilalui seorang tokoh akan kembali lagi kepada pandangan pembaca. Hal ini juga yang membuat belajar dari cerita selalu menarik. Karena rentetan pilihan dari aktor-aktor di dalamnya membuat jalin alur yang memukau. Lengkap dengan segudang pelajaran yang dapat kita ambil. Salam

Simak juga ulasan saya tentang Dinasti Kuru di Mahabharata di:

Wangsa Kuru: Perang Saudara dan Imajinasi Dinasti dalam Kisah Mahabharata | by Lentera Fajar Muhammad | Feb, 2021 | Medium

Add a comment

Related posts:

Furthest first. How healthcare is changing in the digital age

Technology is transforming global healthcare for both healthcare workers and patients across the world. We only have to look at how the digitization of patient records has simplified life for…